Pemulung Jujur Mendambakan Hidup Yang Layak

Pemulung jujur

“Saya Setiap hari nambal ban dan bersihin got ini tidak ada yang bayar, ikhlas. Miris lihat jalan rusak dan selokan kotor gak ada yang bersihin.”

Pak Mulyadi namanya, pria kelahiran Semarang yang kini tinggal di Sukoharjo ini sehari-hari hanya bekerja sebagai pemulung. Setiap hari ia mengayuh sepeda tua miliknya di daerah Mayang, Sukoharjo untuk berkeliling mencari barang bekas. Setelah itu, Pak Mulyadi menuju sebuah jalanan rusak di daerah Gumpang, Sukoharjo. Ia menyempatkan waktunya untuk menambal jalan berlubang dan membersihkan selokan yang lama tak terawat & kotor. Uang hasil memulung yang tak seberapa, ia sisihkan sedikit untuk sekedar membeli semen guna menambal jalan.

Pada tahun 2020, Pak Mulyadi pernah menemukan sebuah dompet milik pengendara yang jatuh. Dompet berisi uang senilai 15 juta tak membuatnya gelap mata, ia mengembalikan dompet tersebut utuh tanpa berkurang sedikitpun. Berkat kejujurannya itu, ia mendapat piagam penghargaan kejujuran dari Gubernur Jawa Tengah. 

pemulung jujur1

” Dompet itu bukan hak saya, (uang 15 juta) itu juga bukan hasil keringat saya, ya saya kembalikan. Saya perbaiki jalan gini juga masih banyak yang nggak suka. Saya tetap ikhlas.” Ucap Pak Mulyadi

 

Berkali-kali Pak Mulyadi terpeleset, terluka, hingga terkilir ketika ia membersihkan selokan. Tak jarang juga banyak orang yang mencibir yang ia lakukan. Namun hal itu tak menyurutkan niat Pak Mulyadi untuk terus menjadi penolong sesama.

“Saya berkali-kali mau di pukulin orang di kira saya gila. Saya istirahat disini, baca al quran biar hati tenang, masih ada juga yang ngatain cari muka biar di kasihani. Ya beginilah, orang niat baik masih banyak juga yang nggak suka. Ya saya Cuma diam aja.”

Sebelumnya, Pak Mulyadi hidup sebatang kara. Ia menjadi gelandangan di jalanan kota Solo lebih dari 10 tahun. Hidupnya terlunta-lunta tanpa memiliki rumah, KTP, kartu keluarga, atau keperluan lainnya. Setelah mendapat piagam penghargaan dari Gubernur, ia baru berhasil mendapat pengakuan identitas karena sebelumnya ia selalu mendapat penolakan ketika ingin mengurus KTP & KK. 

Kini ia tinggal di sebuah kamar kecil 2×2 meter yang terbuat dari papan triplek seadanya. Kamar itupun hanya menempel di tembok rumah mertuanya yang keadaannya tak kalah memprihatinkan. Pak Mulyadi tinggal dengan istri dan ketiga anaknya yang masih berusia 12 tahun, 9 tahun, dan yang terakhir 4 tahun. Istrinya, bu Sunarti (42 tahun) juga sehari hari ikut membantunya mencari barang bekas di lain tempat demi menyambung hidup.

Selain biaya hidup yang pas-pasan, ketiga anaknya yang masih kecil juga membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk keperluan sekolahnya. Harapan besar Pak Mulyadi juga sungguh mulia, ia hanya ingin mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan berkah supaya ia terus mampu membesarkan ketiga anaknya hingga sekolah setinggi tingginya. Sungguh miris melihat keadaan seorang mulia seperti Pak Mulyadi yang harus hidup serba kekurangan. Mari sedikit kita doakan dan sisihkan sebagian harta kita untuk membantu Pak Mulyadi mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Info Kegiatan / Donasi ?